Walaupun para pakar dan pecinta Suiseki telah menyelenggarakan
berbagai kegiatan pameran diantaranya yang disertakan dalam “Asia
Pasific Bonsai Convention & Exhibition 1991” di Bali pada 22 Juni
1991, juga di Jakarta dan Medan, namun penulis yakin bahwa masih banyak
masyarakat yang belum mengetahui apa itu SUISEKI yang penulis sebut
sebagai Batu Seribu Satu Pesona.
Atas dasar itu, penulis merasa terpanggil untuk menyebarluaskan informasi pengenalan mengenai Suiseki, dengan harapan semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi Anda.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis sejak belasan tahun lalu, dapat diketahui bahwa batu Suiseki sebenarnya banyak terdapat di sekitar lingkungan hidup kita. Tetapi karena Anda belum mengetahui secara mendetail tentang Suiseki, maka Anda tidak tahu bahwa sebenarnya di seputaran kaki Anda ada harta karun yang tidak ternilai harga, khususnya bagi Anda yang gemar bepergian ke sungai-sungai, tepi pantai yang berbatu ataupun ke perbukitan dan pegunungan.
Untuk mengetahui secara ringkas mengenai Suiseki, silahkan Anda meneruskan membaca tulisan ini lebih lanjut, dan semoga ada manfaatnya bagi Anda.

Gebrakan Awal
Seni Suiseki yang awal pengenalannya di daratan Asia Tengah (Cina) kini telah merebak ke Jepang bahkan sampai ke Indonesia. Adalah H.Ismail Saleh, SH (mantan Menteri Kehakiman) dkk yang tergabung di PPSI (Persatuan Pecinta Suiseki Indonesia) atau dulu bernama PPBI (Persatuan Pecinta Bonsai Indonesia).
Menurut catatan sejarah, Suiseki sudah dikenal sejak 1.500 tahun lalu di Tiongkok, yaitu sekitar tahun 618 sampai 907 pada masa kerajaan Dinasti Tang dan Sung. Ketika itu Suiseki dikenal dengan sebutan Shang-Sek atau Yah-Sek. Artinya, batu yang dapat dinikmati keindahannya dalam jenis dan arti yang lebih luas. Nama Suiseki berasal dari akar kata Sui-Sek dalam bahasa Cina, yang berarti batu yang terkikis atau diukir oleh air berjuta tahun lamanya.

Konon, sekitar 3.000 tahun yang lalu alkisah ada seorang rakyat biasa negeri Song menemukan sepotong batu. Karena percaya itu sangat bernilai maka batu tersebut disimpan baik-baik. Tamu-tamu yang berkunjung mengamati batu tersebut dan mulai menyenanginya. Pada awal Dinasti Tang (20 abad S.M) kegemaran terhadap batu alam yang terukir secara alami itu mulai digemari oleh masyarakat di Tiongkok.

Menurut para pakar, keunikan Suiseki yang dipopulerkan oleh Jepang, ialah bila dipandang dari jarak jauh akan memancarkan keindahan bentuk artistik. Tetapi bila dipandang dari dekat, Anda dapat menikmati mutu dan kualitas batu, keindahan serat alur dan tekstur yang alami. Selain itu Suiseki juga merupakan suatu hasil hasil karya alam yang teramat unik. Ini dapat dilihat dari tekstur dan serat alur permukaan batu yang terukir oleh proses erosi alam dan waktu melalui suatu maha karya yang terbentuk secara misterius akibat proses alam berjuta tahun lamanya.
Dari ungkapan tersebut di atas, maka dapat ditarik satu kesimpulan
bahwa pada dasarnya Suiseki terbagi dalam dua kelompok atau spesifikasi,
yaitu :

I. Indah karena ungkapan dan imajinasi
Pemandangan alam:
Misalnya pemandangan pegunungan dll.
Abstrak :
Bebatuan yang bentuknya mampu menimbulkan berbagai imajinasi (daya khayal) atau keindahan dalam bentuk dan gambar abstrak yang ada di bebatuan tersebut.
Simbolik:
Bebatuan yang bentuknya menyerupai berbagai bentuk benda tertentu. Misalnya seperti lumpang, mangkuk, binatang dan sebagainya.

II. Keindahan yang terpancar dari batu
Keindahan warna:
Artinya ialah lebih mengutamakan penampilan unsur warnanya yang indah secara alami.
Serak alur:
Bebatuan yang memiliki serat dan alur yang terukir secara alami dengan gaya artistik yang indah.
Fosil:
Jenis ini lebih mengutamakan/terfokus pada bebatuan yang secara utuh atau sebagian menggambarkan tapak keindahan alam purbakala, seperti burung purba, serangga purba, ikan purba, tumbuhan purba dan lain-lain. Jenis ini pada umumnya banyak terdapat di benua Australia, Amerika Latin dan Cina.

Sementara itu, kekerasan Suiseki yang dinilai memenuhi persyaratan seperti ketentuan yang telah disepakati oleh para pakar Suiseki Internasional ialah di atas 4,5 skala Mohns. Sedangkan kriteria keindahan yang digunakan ialah: Balance (keseimbangan), Rhythm (ritme), Contrast (kontras), Harmony (harmonis), dan Unity (keutuhan).

Seni merangkai Suiseki
Selain batu Suiseki yang berbentuk asli, alami, utuh dan senyawa, masih banyak lagi macam ragamnya jenis Suiseki yang telah ditampilkan serta dikembangkan seperti hanya pengembangan dari gaya dasar yang terdapat pada seni merangkai Bonsai. Salah satu contohnya dapat dilihat pada beberapa gambar dalam tulisan ini. Foto-foto tersebut memperlihatkan hasil rangkaian penulis dari dua batu yang berbeda sehingga terlihat sebagai anak elang. Itu menurut imajinasi penulis.

Bila Anda kurang cermat mengamati foto tersebut, maka Anda akan beranggapan Suiseki anak elang itu merupakan batu Suiseki utuh. Padahal, batas leher ke atas batunya beda dengan bentuk badannya.

Rangkaian Suiseki anak elang itu penulis temukan di galian C (sirtu) di Dusun Janggus, Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara puluhan tahun lalu (1979).

Mungkin karena memang sudah jodohnya, kedua batu tersebut akhirnya bisa manunggal jadi seperti sesosok anak burung elang yang sudah jadi milik Ir.Iskandar Kasim (dulu Kaur. Perso Pertamina EP Pusat di Jakarta).
Sumber: https://freddyilhamsyah.wordpress.com
Atas dasar itu, penulis merasa terpanggil untuk menyebarluaskan informasi pengenalan mengenai Suiseki, dengan harapan semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi Anda.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis sejak belasan tahun lalu, dapat diketahui bahwa batu Suiseki sebenarnya banyak terdapat di sekitar lingkungan hidup kita. Tetapi karena Anda belum mengetahui secara mendetail tentang Suiseki, maka Anda tidak tahu bahwa sebenarnya di seputaran kaki Anda ada harta karun yang tidak ternilai harga, khususnya bagi Anda yang gemar bepergian ke sungai-sungai, tepi pantai yang berbatu ataupun ke perbukitan dan pegunungan.
Untuk mengetahui secara ringkas mengenai Suiseki, silahkan Anda meneruskan membaca tulisan ini lebih lanjut, dan semoga ada manfaatnya bagi Anda.

Gebrakan Awal
Seni Suiseki yang awal pengenalannya di daratan Asia Tengah (Cina) kini telah merebak ke Jepang bahkan sampai ke Indonesia. Adalah H.Ismail Saleh, SH (mantan Menteri Kehakiman) dkk yang tergabung di PPSI (Persatuan Pecinta Suiseki Indonesia) atau dulu bernama PPBI (Persatuan Pecinta Bonsai Indonesia).
Menurut catatan sejarah, Suiseki sudah dikenal sejak 1.500 tahun lalu di Tiongkok, yaitu sekitar tahun 618 sampai 907 pada masa kerajaan Dinasti Tang dan Sung. Ketika itu Suiseki dikenal dengan sebutan Shang-Sek atau Yah-Sek. Artinya, batu yang dapat dinikmati keindahannya dalam jenis dan arti yang lebih luas. Nama Suiseki berasal dari akar kata Sui-Sek dalam bahasa Cina, yang berarti batu yang terkikis atau diukir oleh air berjuta tahun lamanya.

Konon, sekitar 3.000 tahun yang lalu alkisah ada seorang rakyat biasa negeri Song menemukan sepotong batu. Karena percaya itu sangat bernilai maka batu tersebut disimpan baik-baik. Tamu-tamu yang berkunjung mengamati batu tersebut dan mulai menyenanginya. Pada awal Dinasti Tang (20 abad S.M) kegemaran terhadap batu alam yang terukir secara alami itu mulai digemari oleh masyarakat di Tiongkok.

Menurut para pakar, keunikan Suiseki yang dipopulerkan oleh Jepang, ialah bila dipandang dari jarak jauh akan memancarkan keindahan bentuk artistik. Tetapi bila dipandang dari dekat, Anda dapat menikmati mutu dan kualitas batu, keindahan serat alur dan tekstur yang alami. Selain itu Suiseki juga merupakan suatu hasil hasil karya alam yang teramat unik. Ini dapat dilihat dari tekstur dan serat alur permukaan batu yang terukir oleh proses erosi alam dan waktu melalui suatu maha karya yang terbentuk secara misterius akibat proses alam berjuta tahun lamanya.

Koleksi Jon Hendri no hp 082285459333

I. Indah karena ungkapan dan imajinasi
Pemandangan alam:
Misalnya pemandangan pegunungan dll.
Abstrak :
Bebatuan yang bentuknya mampu menimbulkan berbagai imajinasi (daya khayal) atau keindahan dalam bentuk dan gambar abstrak yang ada di bebatuan tersebut.
Simbolik:
Bebatuan yang bentuknya menyerupai berbagai bentuk benda tertentu. Misalnya seperti lumpang, mangkuk, binatang dan sebagainya.

II. Keindahan yang terpancar dari batu
Keindahan warna:
Artinya ialah lebih mengutamakan penampilan unsur warnanya yang indah secara alami.
Serak alur:
Bebatuan yang memiliki serat dan alur yang terukir secara alami dengan gaya artistik yang indah.
Fosil:
Jenis ini lebih mengutamakan/terfokus pada bebatuan yang secara utuh atau sebagian menggambarkan tapak keindahan alam purbakala, seperti burung purba, serangga purba, ikan purba, tumbuhan purba dan lain-lain. Jenis ini pada umumnya banyak terdapat di benua Australia, Amerika Latin dan Cina.

Sementara itu, kekerasan Suiseki yang dinilai memenuhi persyaratan seperti ketentuan yang telah disepakati oleh para pakar Suiseki Internasional ialah di atas 4,5 skala Mohns. Sedangkan kriteria keindahan yang digunakan ialah: Balance (keseimbangan), Rhythm (ritme), Contrast (kontras), Harmony (harmonis), dan Unity (keutuhan).

Seni merangkai Suiseki
Selain batu Suiseki yang berbentuk asli, alami, utuh dan senyawa, masih banyak lagi macam ragamnya jenis Suiseki yang telah ditampilkan serta dikembangkan seperti hanya pengembangan dari gaya dasar yang terdapat pada seni merangkai Bonsai. Salah satu contohnya dapat dilihat pada beberapa gambar dalam tulisan ini. Foto-foto tersebut memperlihatkan hasil rangkaian penulis dari dua batu yang berbeda sehingga terlihat sebagai anak elang. Itu menurut imajinasi penulis.

Bila Anda kurang cermat mengamati foto tersebut, maka Anda akan beranggapan Suiseki anak elang itu merupakan batu Suiseki utuh. Padahal, batas leher ke atas batunya beda dengan bentuk badannya.

Koleksi Jon Hendri untuk dijual No HP sms/wa: 082285459333.

Rangkaian Suiseki anak elang itu penulis temukan di galian C (sirtu) di Dusun Janggus, Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara puluhan tahun lalu (1979).

Mungkin karena memang sudah jodohnya, kedua batu tersebut akhirnya bisa manunggal jadi seperti sesosok anak burung elang yang sudah jadi milik Ir.Iskandar Kasim (dulu Kaur. Perso Pertamina EP Pusat di Jakarta).
Sumber: https://freddyilhamsyah.wordpress.com